Beranda | Artikel
Kaya Hati
Kamis, 27 Januari 2022

Edisi 1823

Sebagian orang belajar belasan tahun dengan tujuan supaya kelak mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Sebagian orang sibuk mengurusi bisnis online nya hingga lupa waktu makan dan istirahat. Sebagian orang menghabiskan waktu untuk rapat satu ke rapat yang lainnya karena tuntutan pekerjaan hingga terlewatkan waktu shalatnya. Berbagai hal dikorbankan untuk menjadi seorang yang kaya. Menjadi seseorang yang kaya harta tidaklah dilarang di dalam agama, bahkan itu bisa menjadi sarana untuk beramal shalih. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang mengejar kekayaan harta dan lupa dengan hakikat kekayaan yang sebenarnya.

 

Kaya hati kaya yang hakiki

Orang yang kaya pada hakikatnya bukanlah orang yang bergelimang harta dan serba bisa membeli apa yang diinginkannya. Orang kaya adalah orang yang jiwanya senantiasa merasa cukup dan puas dengan apa yang Allah ta’ala berikan kepadanya. Dengan jiwa yang merasa cukup berarti dia telah berkecukupan. Orang yang berkecukupanlah orang yang kaya. Berbeda dengan orang yang mempunyai banyak harta namun dia masih merasa kurang. Orang seperti itu adalah orang yang kekurangan. Orang yang kekurangan bukanlah orang yang kaya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup yang ada di dalam hati (qona’ah).” (H.R. Al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bertanya kepada salah seorang sahabat yakni Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?” Aku berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah bersabda: “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?” Aku berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullah pun bersabda : “Sesungguhnya kekayaan adalah kayanya hati, dan kemisikinan adalah miskinnya hati” (H.R. Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib).

 

Rumput tetangga terlihat lebih hijau

Di antara hal yang membuat jiwa tidak merasa cukup adalah karena seringnya melihat kondisi orang lain yang terlihat lebih indah dan bahagia dibandingkan dengan kondisi dirinya. Saat sebulan penghasilannya lima ratus ribu, ia sedih karena melihat temannya mendapatkan uang satu juta. Di saat sebulan ia memegang uang satu juta, ia sedih lagi karena melihat seniornya mendapatkan sepuluh juta. Saat sepuluh juta ia dapatkan sebulan, ia masih tidak cukup saat mengetahui atasannya berpenghasilan sampai lima puluh juta. Ketika tetangganya membeli mobil, ia sedih meskipun dia sudah punya motor dan belum penting untuk punya mobil. Ketika anak temannya menjadi juara berbagai lomba ia sedih karena anaknya biasa – biasa saja di kelas. Begitu seterusnya. Ia senantiasa  melihat kehidupan orang lain yang lebih indah dari kehidupannya. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah menasihati umatnya sejak 14 abad yang lalu, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu” (H.R. Muslim no. 2963, Tirmidzi no. 2513, Ibnu Majah no. 4142, dan Ahmad no. 10246).

Sudah seharusnya seseorang sering melihat ke bawah dalam masalah dunianya. Alhamdulillah bisa membaca, padahal banyak orang yang tidak bisa membaca dan melihat. Alhamdulillah bisa bekerja, padahal banyak yang terbaring lesu menahan sakit di rumah sakit. Sering melihat ke bawah akan membuat jiwa lebih qona’ah dan bersyukur.

 

Belajar dari qana’ahnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha pernah menceritakan hari – hari yang pernah beliau lalui bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari, sampai beliau wafat” (H.R. Muslim no. 2970).

Dalam hadits lain dikisahkan bagaimana keadaan tidurnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (H.R. Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676).

Cukuplah dua hadits di atas memberikan gambaran betapa qana’ahnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kesehariannya. Masih banyak lagi teladan dari beliau yang semoga bisa disampaikan di lain kesempatan.

 

Lelaki penduduk surga

Di antara buah sifat qana’ah pada seseorang adalah dia akan lebih mudah untuk tidak iri dengan apa yang dimiliki orang lain karena ia yakin Allah Ta’ala telah menuliskan rezeki setiap hamba Nya. Rezeki seseorang selama di dunia pasti akan diterima semuanya tidak kurang dan tidak lebih sedikitpun hingga ajal menjemputnya. Sifat tidak iri dengan apa yang Allah Ta’ala berikan kepada orang lain adalah sifat yang sangat mulia dan bisa menjadi salah satu sebab seseorang dimasukkan ke dalam surga.

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata:

Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga. Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar. Jenggotnya meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya di tangan kirinya. Di keesokan harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti hari pertama.  Di hari ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi lelaki itu seperti keadaannya di hari pertama.

Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah berdiri, lelaki itu diikuti oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash radhiyallahu anhu. Abdullah berkata, “Sungguh aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Orang tersebut menjawab, “Silakan.”

 

Anas berkata:

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah mengatakan, “Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.”

 

Abdullah berkata, “Tatkala tiga malam itu lewat, aku hampir menganggap remeh amalannya, aku berkata, ‘Wahai hamba Allah, (sebenarnya) tidak ada konflik dan pemboikotan antara aku dan ayahku. Namun, aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berucap, ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang penduduk surga’ sebanyak tiga kali lalu engkau muncul di waktu itu tiga kali juga. Saya ingin tinggal menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun, aku tidak melihat engkau banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.

Abdullah berkata, “Aku pun meninggalkannya.”

Tatkala aku berpaling, ia memanggilku. Ia berkata, ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali apa yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak dapatkan dalam diriku kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku tidak hasad kepadanya atas kebaikan yang Allah ta’ala berikan kepadanya.

Abdullah berkata,

Inilah hal yang mengantarkanmu kepada kedudukan itu. Inilah yang tidak mampu (susah) dilaksanakan.”

(H.R. An Nasai dalam As sunan al kubra no. 10699, dan Ahmad no. 12697 Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

 

Semoga kita termasuk hamba – hamba Allah yang qana’ah.

 

Ditulis : Pridiyanto, S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/kaya-hati/